Senin, 27 Juli 2009

Sistem peradilan pidana

Dalam bukunya: "Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana", Reksodiputro (1994: 84) mengartikan peradilan sebagai tiang teras dan landasan negara hukum. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan sistem penanggulangan kejahatan, yang berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya, dalam buku: "Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana", terbaca dengan jelas bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana (Muladi, 1995: 4).

Pada umumnya, penerapan kebijakan/kewenangan penjatuhan pidana (yang pada hakikatnya juga berarti penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum pidana) sesuai sumber bacaan: "Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana", dilakukan melalui empat tahap/proses sebagai berikut:

(1) penerapan kebijakan/kewenangan penyidikan;
(2) penerapan kebijakan/kewenangan penuntutan;
(3) penerapan kebijakan/kewenangan pemidanaan; dan
(4) penerapan kebijakan/kewenangan pelaksanaan/eksekusi pidana.

Keempat tahap/proses ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana itu pun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral (Nawawi, 1998: 31).

Kenyataannya, peradilan pidana sebagai suatu sistem, terdapat juga empat komponen yang telah diketahui umum bekerja sama satu sama lain, yaitukepolisian-kejaksaan-pengadilan dan (lembaga) pemasyarakatan. Keempat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu "integrated criminal justice administration" (Reksodiputro, 1994: 85). Sedangkan, ciri-ciri peradilan pidana sebagai suatu sistem terbaca dengan jelas dalam buku: "Problema Kenakalan Anak-anak dan Remaja", sebagai berikut:

(1) titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksanaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan);
(2) pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; (3) efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelenggaraan perkara; dan
(4) penggunaan hukum sebagai instrumen untuk menerapkan "the administration of justice" (Atmasasmita, 1984: 9-10).

Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Peradilan Pidana

Proses restorative justice merupakan proses keadilan yang sepenuhnya dijalankan dan dicapai oleh masyarakat. Proses yang benar-benar harus sensitif terhadap kebutuhan masyarakat dan benar-benar ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali tindak pidana. Hal ini menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang penuh dengan pertimbangan dalam merespon kejahatan dan menghindari terjadinya stigmatisasi.

Sehingga sangat disadari perlu dijalankannya suatu mekamsme monitoring di dalam masyarakat terhadap pelaksanaan hasil akhir dari penyelesaian suatu tindak pidana, menyediakan dukungan, dan dibukanya kesempatan yang luas bagi stakeholder3 kunci. Hasil analisa terhadap existing legal framework dan dikaitan dengan perspektif restorative justice adalah:

• Konsep Sistem Pemasyarakatan dalam instrumen nasional tentang reaksi negara terhadap orang yang telah divonis melanggar hukum, yang diilhami oleh 10 Prinsip Pemasyarakatan dari Dr. Sahardjo, memperlihatkan kecenderungan nilai dan pendekatan yang hampir sama dengan nilai dan pendekatan yang terdapat dalam instrumen internasional tentang perlakuan terhadap tahanan dan narapidana, sebagaimana termuat dalam Peraturan-peraturan Standar Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi Perlakuan terhadap Narapidana, resolusi 663 C (XXIV)/1957 dan resolusi 2076/1977.

Meskipun dalam undang-undang tentang penghukuman dalam sistem peradilan Indonesia tidak diatur secara detail perihal perlakuan minimal yang diberikan oleh negara.

Baik Konsep Sistem Pemasyarakatan maupun Peraturan-peraturan Standar Minimum Bagi Perlakuan terhadap Narapidana menganut filosofi penghukuman yang diwarnai pendekatan rehabilitatif, yaitu pendekatan yang menganggap pelaku pelanggar hukum sebagai pesaldtan dan karenanya harus disembuhkan.

• Hak-hak narapidana atau orang-orang yang dipenjara sebagaimana tercantum> dalam Peraturan-peraturan Standar Minimum (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagi Perlakuan terhadap Narapidana, resolusi 663 C (XXTV)/1957 dan resolusi 2076/1977, sebagian besar juga diatur dalam instrumen-instrumen nasional.

• Hak-hak korban salah pemidanaan dan korban penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang — hal mana secara jelas dan detail diatur dalam instrumen-instrumen internasional- tidak diatur dengan jelas dalam instrumen nasional, kecuali dalam Konvensi

Yang dimaksud dengan stakeholder kunci dalam proses keadilan restoratif adalah korban, pelaku, dan masyarakat umum. Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) Resolusi 39/46 tanggal 10 Desember 1984, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1998.

Ada perbedaan yang cukup signifikan antara aneka penghukuman terhadap narapidana yang melakukan berbagai pelanggaran disiplin lembaga (melakukan pelanggaran atas aturan dan tata tertib lembaga penahanan/penjara). Dalam instrumen nasional, terdapat hukuman tutupan sunyi maupun hukuman untuk menghentikan atau menunda hak tertentu untuk jangka waktu tertentu bagi narapidana yang dianggap melakukan pelanggaran hukuman disiplin.

Padahal dalam instrumen-instrumen internasional, bentuk hukuman yang demikian ini dilarang. Mengenai kelengkapan keamanan yang standar bagi petugas lembaga penahanan atau pemenjaraan dalam menjalankan tugas kesehariannya, perlu sangat selektif dalam penggunaan senjata api. Dalam instrumen nasional, penggunaan senjata api justru dinyatakan secara eksplisit sebagai satu kondisi yang umum/biasa.

Dalam kegiatan pengenalan lingkungan bagi narapidana yang baru masuk ke lembaga pemenjaraan, yang pada saat itu diberikan pengenalan fisik lingkungan, juga seyogyanya diberikan pengenalan atas peraturan-peraturan yang eksis dalam lembaga, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh narapidana, juga tentang hak dan kewajiban narapidana.

Bila dalam instrumen internasional, informasi-informasi tersebut wajib diberikan oleh pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi dalam instrumen nasional pemberian pengenalan lingkungan ini diberikan oleh kepala blok. Kepala blok adalah narapidana, yang biasanya dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa hukuman dan perikku patuh 'hukum' (sesungguhnya hanya patuh kepada petugas) serta memiliki kewibawaan atas narapidana lain, pihak yang diberikan tanggung jawab oleh petugas yang berwenang dalam lembaga sebagai penyambung lidah petugas, dan menjadi penanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas beberapa kamar dan dihuni oleh sejumlah narapidana.

Dalam instrumen internasional, secara jelas diatur tentang keberadaan lembaga pengawas yang independen (ombudsman atau oversight committee) atas bekerjanya lembaga-lembaga dan administrasi pemenjaraan, untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga ini telah bekerja sebagaimana aturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga yang independen ini juga memiliki otoritas atas akses yang luas ke dalam lembaga pemenjaraan dan terhadap narapidana. Narapidana pun memiliki hak untuk menyampaikan keluhan kepada lembaga pengawas yang independen ini secara bebas dan tanpa didengarkan oleh pejabat lembaga pemenjaraan. Tentang lembaga pengawas yang independen ini tidak diatur dalam instrumen nasional.

Prinsip-prinsip dasar bahwa pengaturan lembaga pemenjaraan harus meminimalkan berbagai perbedaan diantara kehidupan dalam lembaga dengan kehidupan bebas, yang bertujuan untuk mengurangi pertanggung jawaban para narapidana karena martabat mereka sebagai insan manusia, juga dianut oleh instrumen nasional.

Hal-hal tentang pencatatan identitas diri narapidana, kategori-kategori penempatan narapidana, akomodasi, kebersihan pribadi, pakaian narapidana dan tempat tidur, makanan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain, mesldpun tidak diatur secara rinci sebagaimana dalam Standard Minimum Rules (UN), dalam instrumen nasional pun hampir semuanya telah diatur, walaupun memang dengan kualitas yang lebih rendah ketimbang ketentuan yang secara eksplisit disebut dalam Standard Minimum Rules (UN).

Misalnya, dalam hal pemberian pakaian, perlengkapan tidur, ketersediaan obat-obatan dan petugas medis demikian pula masalah sanitasi dan ventilasi kamar atau sel narapidana.

Berkaitan dengan restorative justice, maka terdapat banyak sekali hal yang terdapat dalam ketentuan internasional ataupun nasional yang terkait dengan penahanan/pemenjaraan sebagai kegiatan terminal yang harus memHiki kontribusi pada kehidupan yang lebih baik, minimal sama, pada diri pelanggar hukum pasca penghukuman.

Penekanan pada pemberian pelatihan vokasional sebagai bekal di masa depan, adalah salah satu bentuknya. Dengan kata lain, penghukuman tidak lagi merupakan instrumen retributif ataupun rehabilitatif tetapi juga restoratif. Walaupun demikian, masih berkaitan dengan ide restorative justice, maka terdapat banyak sekali hal yang belum diatur dalam ketentuan internasional ataupun, apalagi, nasional.

Pemenuhan hak-hak asasi tahanan dan narapidana memang tidak dapat disingkirkan, namun seyogyanya dilaksanakan bersamaan dan seimbang dengan pemenuhan hak-hak asasi pihak- pihak yang terkait dengan pelaku kejahatan.' Tidak hanya itu, sistem pemasyarakatan yang secara konsisten dan optimal menganut pemikiran restorative justice, sebenarnya tidak menuntut diberlakukannya berbagai hal yang selama ini telah diatur dalam ketentuan internasional ataupun nasional mengenai pembinaan ataupun perlakuan terhadap narapidana.

Perspektif restorative justice juga menuntut diadakannya pembentukan ataupun perubahan (bila sebelumnya sudah terbentuk) menyangkut lembaga-lembaga lain di luar lembaga pemasyarakatan guna bersama-sarna lembaga pemasyarakatan merestorasi perilaku jahat atau menyimpang dari narapidana. Baik ketentuan mternasional maupun nasional tidak menyinggung hal itu.

Ide restorative justice menghendaki agar proporsi lembaga-lembaga lain tersebut cukup signifikan dibandingkan dengan lembaga pemasyarakatan, melambangkan tersedianya.cukup alternatif dalam rangka pemberian sanksi sosial bagi anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan penyimpangan.

Temuan studi lapangan:

- overpopulatis, berimbas kepada banyak persoalan seperti keterbatasan ruang, fasilitas pembinaan, fasilitas-fasiltas dasar seperti tempat tidur, pakaian, dll. Ancaman keributan atau kerusuhan dalam lembaga, kontrol dan perhatian petugas yang terbatas akibat perbandingan yang tidak ideal antara jumlah petugas dengan narapidana, akses terhadap fcegiatan-kegiatan pembinaan dan Kecrampiian kerja yang sangat terbatas.

- indikator kebehasilan pembinaan dalam lembaga cenderung dilihat oleh pejabat lembaga melalui sejauhmana kepatuhan narapidana terhadap peraturan lembaga yang direpresentasikan oleh ada tidaknya pelarian dan keributan dalam lembaga

- dengan demikian maka prioritas utama pembinaan adalah menciptakan kestabilan keamanan dalam lembaga melalui peraturan-peraturan yang ketat, sanksi hukum yang keras (meskipun tidak ada kepastian dan kejelasan).

- karena berprioritas pada kestabilan dan keamanan institusi, maka program pembinaan berjalan dengan semangat 'asal ada kegiatan'.

- minimnya anggaran juga menyebabkan Lapas sulit mengatur program kegiatan yang benar-benar tepat sasaran. Anggaran terbesar diserap oleh kebutuhan akan makanan bagi napi.

- sebagian besar responden sebelumnya telah melakukan tindak kriminal

- pelatihan kerja atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, minat dan keinginan mereka, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi di luar lembaga. Ketertinggalan teknologi dan tidak bervariasinya pemberian keterampilan justru menyebabkan kegiatan menjadi tidak efektif, dengan biaya produksi yang tinggi dan hasil yang tidak maksimal.

- maka, tidaklah terlalu mengherankan bila hal tersebut menyebabkan kebanyakan bekas narapidana menemui kesulitan untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Selain, tentu saja, persoalan stigma negatif yang menempel pada 'label' bekas narapidana menyebabkan banyak perusahaan atau majikan tidak mau menerima 'eks napi' sebagai pegawainya.

- Program pembinaan dititikberatkan pada kegiatan pembinaan agama karena pejabat yang berwenang memandang kejahatan sebagai dosa, sehingga konsep tentang tobat dan akhlak, masih sangat kental

Menurut mereka, persoalan kejahatan adalah persoalan tidak adanya iman yang kuat dari para pelakunya penempatan narapidana di dalam Lapas juga menimbulkan "korban" baru (secondary but indirect victimisation). Dari 140 orang responden yang sudah berkeluarga, 87.2% diantaranya mengharuskan (tepatnya: mengakibadcan) istri dan keluarganya (seperti orangtua, saudara, dll.) untuk menanggung biaya hidup anak-anaknya.

Sebagian besar alasan mereka ddak ingin kembali ke tempat dnggal asalnya menggambarkan bahwa tidak ada upaya reintegrasi, baik antara pelaku dengan korban, juga antara pelaku dengan masyarakat, yang mestinya menjadi inisiadf dan dilakukan oleh sistem peradilan. Realitas program pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga, ddak bisa dipisahkan dari kondisi sumber daya petugas yang secara umum tidak cukup kapabei. Hal mi di antaranya disebabkan oleh,

a. sistem perekrutan yang tidak didasari oleh kebutuhan kualifikasi personil

b. lemahnya keterkaitan kurikulum Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) sebagai insdtusi yang menghasilkan lulusan untuk bekerja pada Lembaga Pemasyarakatan, padahal jumlah mereka sangat signifikan dan menduduki posisi-posisi penting.

c. kurangnya pengkayaan kemampuan petugas Lapas dan Bapas melalui pelatihan-pelatihan d. buruknya sistem gaji dan tunjangan bagi pegawai pemasyarakatan dan Bapas yang berpengaruh pada kinerja personil dan lembaga

d. mekanisme evaluasi prestasi kerja dan jenjang karir petugas yang ddak jelas dan transparan

e. friksi antar pegawai yang berasal dari AKIP dengan non AKIP, yang dipicu olehperlakuan yang diskriminatif, merendahkan terhadap petugas dari non AKIP

f. anggaran dana operasional untuk lembaga yang sangat minim dan ketika bertemu dengan moralitas pejabat lembaga yang korup, maka kondisi ini menjadi sangat menekan biaya-biaya operasional yang semesdnya tidak bisa dikurangi

g. sudah dana terbatas, semaltin terbatas karena dikorup, pengalokasiannya tidak tepat , sasaran dan tidak efisien (adanya pemborosan-pemborosan karena melakukan 'tender* tertutup untuk pengadaan barang, makanan untuk operasinal lembaga).

h. dan yang terutama adalah, kesenjangan konsep pemasyarakatan dengan realitas pelaksanaan di lapangan.**

welcome

ajie gunawan wibiksana

Blogspot Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Urban Designs